Minggu, 28 Juni 2020

Berguru Kepada Siapa?




Menuntut ilmu adalah perkara yang sangat mulia, karenanya Allah ta’ala meninggikan derajat orang orang yang berilmu di atas orang orang yang beriman beberapa derajat. Kemuliaan ilmu juga meliputi pembawa ilmu, sebagaimana malaikat Jibril ‘alaihissalam menjadi malaikat yang mulia ketika memiliki tugas menyampaikan wahyu kepada nabi yang mulia.

Seiring waktu berlalu dan jauhnya kita dari waktu di utusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam oleh Allah ta’ala, maka jauh pula sumber ilmu yang sampai kepada kita. Melewati beberapa generasi dari umat ini. Muhammad bin Sirrin berkata “sesungguhnya ilmu agama yang kamu pelajari adalah agamamu, maka telitilah dari siapa kamu mengambil ilmu agamamu.”

Jika para tabiin dimasa itu mewanti wanti agar meneliti ketika akan berguru dan mengambil ilmu. Maka bagaimana dengan kita pada masa ini. Sedangkan generasi mereka (tabii’in) adalah salah satu generasi yang di rekomendasi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai generasi terbaik dari umat ini. Sudah selayaknya bagi kita di masa yang sangat jauh dari masa kenabian, lebih selektif lagi dalam memilih guru dan menimba ilmu.

Tersebarnya informasi melalui media sosial di era ini, menjadi pisau bermata dua. Tergantung kepada kita yang menggunakannya. Begitu juga halnya dengan memilih guru dan mengambil ilmu.

Salah satu parameter di masa sekarang ketika menimba ilmu yang ada di masyarakat adalah melihat dari media sosial. Apakah sang guru termasuk orang yang banyak di ikuti di media sosial, atau meraka memiliki quote-quote indah yang banyak di bagikan oleh followernya. Hal ini di keruhkan lagi dengan anggapan sebagian masyarakat bahwa bebas berguru kepada siapa saja. Padahal dalam perkara dunia saja, kita akan mencari orang  orang yang ahli dalam bidangnya. Ketika kita sakit, secara naluri kita akan pergi ke dokter terbaik yang akan memberika obat dan saran terbaik kepada kita.

Dari sini, kita menyadari ada perbedaan antara kita dan para ulama dahulu ketika berguru dan mengambil imu. Alih-alih ingin memperoleh keselamatan untuk dunia dan akhirat, namun salah dalam mengambil guru, hanya akan semakin jauh dari tujuan. Perkataan yang sering di angkat juga adalah ‘ambil baiknya dan buang buruknya’. Hal ini bisa saja kita praktikan jika kita sudah mengetahui secara menyeluruh parameter kebaikan, jika kita belum mengetahuiya dan mengikuti perkataan seperti ini, hanya akan menjauhkan kita dari tujuan.

Allah ta’ala berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam” (QS. An Nisa: 140).

Dalam ayat ini Allah melarang menghadiri majelis mejelis yang memperolok olok ayat ayat Allah ta’ala.

Dari Abu Umayyah al Jumahi radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إن من أشراط الساعة أن يلتمس العلم عند الأصاغر
“Diantara tanda kiamat adalah orang-orang menuntut ilmu dari al ashoghir” (HR. Ibnul Mubarak dalam Az Zuhd [2/316], Al Lalikai dalam Syarah Ushulus Sunnah [1/230], dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah [695])

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan dalam hadits di atas, agar kita tidak sembarang dalam menuntut ilmu. Karena di masa ini banyak sekali orang orang yang berbicara tentang agama, padahal tidak layak untuk berbicara tentang agama ini.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :
الرَّجُلُ على دِينِ خليلِهِ؛ فلينظُرْ أحَدُكم مَن يخالِلُ
“Keadaan agama seseorang dilihat dari keadaan agama teman dekatnya. Maka hendaklah kalian lihat siapa teman dekatnya” (HR. Tirmidzi no.2378, ia berkata: ‘hasan gharib’, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk selektif dalam memilih teman dekat. Karena teman akan sangat mempengaruhi keadaan agama seseorang. Maka bagaimana lagi dengan seorang guru yang akan di jadikan panutan setiap perilaku dan perkataannya.

Muhammad bin Sirin rahimahullah, beliau mengatakan:
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Ilmu ini adalah bagian dari agama kalian, maka perhatikanlah baik-baik dari siapa kalian mengambil ilmu agama” (Diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Al Ilal, 1/355).

Ibrahim An Nakha’i rahimahullah mengatakan:
كَانُوا إِذَا أَتَوْا الرَّجُلَ لِيَأْخُذُوا عَنْهُ، نَظَرُوا إِلَى هديه، وَإِلَى سَمْتِهِ، وَ صلاته, ثم أخذوا عنه
“Para salaf dahulu jika mendatangi seseorang untuk diambil ilmunya, mereka memperhatikan dulu bagaimana akidahnya, bagaimana akhlaknya, bagaimana shalatnya, baru setelah itu mereka mengambil ilmu darinya” (Diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan-nya, no.434).

Dari penjelasan beliau rahimahullah, ada tiga hal yan harus kita perhatikan sebelum kita memutuskan untuk berguru kepada seseorang.
Pertama, memperhatikan aqidahnya.
Kedua, memperhatikan akhlaknya.
Ketiga, bagaimana sholat orang tersebut.

Setelah kita memahami proses ini, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mengikuti bagaimana para ulama terdahulu ketika memutuskan untuk berguru. Terbukti mereka sudah mendapakan hasil yang maksimal dengan proses yang benar.

Washallallahu ‘alla nabiyyina Muhammad.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47202-selektif-dalam-menuntut-ilmu-agama.html











1 komentar: