Menuntut
ilmu adalah perkara yang sangat mulia, karenanya Allah ta’ala meninggikan
derajat orang orang yang berilmu di atas orang orang yang beriman beberapa
derajat. Kemuliaan ilmu juga meliputi pembawa ilmu, sebagaimana malaikat Jibril
‘alaihissalam menjadi malaikat yang mulia ketika memiliki tugas
menyampaikan wahyu kepada nabi yang mulia.
Seiring
waktu berlalu dan jauhnya kita dari waktu di utusnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam oleh Allah ta’ala, maka jauh pula sumber ilmu yang sampai
kepada kita. Melewati beberapa generasi dari umat ini. Muhammad bin Sirrin
berkata “sesungguhnya ilmu agama yang kamu pelajari adalah agamamu, maka
telitilah dari siapa kamu mengambil ilmu agamamu.”
Jika
para tabiin dimasa itu mewanti wanti agar meneliti ketika akan berguru dan
mengambil ilmu. Maka bagaimana dengan kita pada masa ini. Sedangkan generasi
mereka (tabii’in) adalah salah satu generasi yang di rekomendasi oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai generasi terbaik dari
umat ini. Sudah selayaknya bagi kita di masa yang sangat jauh dari masa
kenabian, lebih selektif lagi dalam memilih guru dan menimba ilmu.
Tersebarnya
informasi melalui media sosial di era ini, menjadi pisau bermata dua.
Tergantung kepada kita yang menggunakannya. Begitu juga halnya dengan memilih
guru dan mengambil ilmu.
Salah
satu parameter di masa sekarang ketika menimba ilmu yang ada di masyarakat
adalah melihat dari media sosial. Apakah sang guru termasuk orang yang banyak
di ikuti di media sosial, atau meraka memiliki quote-quote indah yang banyak di
bagikan oleh followernya. Hal ini di keruhkan lagi dengan anggapan sebagian
masyarakat bahwa bebas berguru kepada siapa saja. Padahal dalam perkara dunia
saja, kita akan mencari orang orang yang
ahli dalam bidangnya. Ketika kita sakit, secara naluri kita akan pergi ke
dokter terbaik yang akan memberika obat dan saran terbaik kepada kita.
Dari
sini, kita menyadari ada perbedaan antara kita dan para ulama dahulu ketika
berguru dan mengambil imu. Alih-alih ingin memperoleh keselamatan untuk dunia
dan akhirat, namun salah dalam mengambil guru, hanya akan semakin jauh dari
tujuan. Perkataan yang sering di angkat juga adalah ‘ambil baiknya dan buang
buruknya’. Hal ini bisa saja kita praktikan jika kita sudah mengetahui secara
menyeluruh parameter kebaikan, jika kita belum mengetahuiya dan mengikuti
perkataan seperti ini, hanya akan menjauhkan kita dari tujuan.
Allah
ta’ala berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ
اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى
يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ
الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
“Dan
sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa
apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh
orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka
memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat
demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan
mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam”
(QS. An Nisa: 140).
Dalam
ayat ini Allah melarang menghadiri majelis mejelis yang memperolok olok ayat
ayat Allah ta’ala.
Dari
Abu Umayyah al Jumahi radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
إن من أشراط الساعة أن يلتمس العلم عند الأصاغر
“Diantara
tanda kiamat adalah orang-orang menuntut ilmu dari al ashoghir” (HR. Ibnul
Mubarak dalam Az Zuhd [2/316], Al Lalikai dalam Syarah Ushulus Sunnah [1/230],
dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah [695])
Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan dalam hadits di atas, agar kita
tidak sembarang dalam menuntut ilmu. Karena di masa ini banyak sekali orang
orang yang berbicara tentang agama, padahal tidak layak untuk berbicara tentang
agama ini.
Dari
Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda :
الرَّجُلُ على دِينِ خليلِهِ؛ فلينظُرْ أحَدُكم مَن يخالِلُ
“Keadaan
agama seseorang dilihat dari keadaan agama teman dekatnya. Maka hendaklah
kalian lihat siapa teman dekatnya” (HR. Tirmidzi no.2378, ia berkata: ‘hasan
gharib’, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Dalam
hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk
selektif dalam memilih teman dekat. Karena teman akan sangat mempengaruhi
keadaan agama seseorang. Maka bagaimana lagi dengan seorang guru yang akan di
jadikan panutan setiap perilaku dan perkataannya.
Muhammad
bin Sirin rahimahullah, beliau mengatakan:
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Ilmu
ini adalah bagian dari agama kalian, maka perhatikanlah baik-baik dari siapa
kalian mengambil ilmu agama” (Diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Al Ilal, 1/355).
Ibrahim
An Nakha’i rahimahullah mengatakan:
كَانُوا إِذَا أَتَوْا الرَّجُلَ لِيَأْخُذُوا عَنْهُ، نَظَرُوا إِلَى
هديه، وَإِلَى سَمْتِهِ، وَ صلاته, ثم أخذوا عنه
“Para
salaf dahulu jika mendatangi seseorang untuk diambil ilmunya, mereka
memperhatikan dulu bagaimana akidahnya, bagaimana akhlaknya, bagaimana
shalatnya, baru setelah itu mereka mengambil ilmu darinya” (Diriwayatkan oleh
Ad Darimi dalam Sunan-nya, no.434).
Dari
penjelasan beliau rahimahullah, ada tiga hal yan harus kita perhatikan
sebelum kita memutuskan untuk berguru kepada seseorang.
Pertama, memperhatikan aqidahnya.
Kedua,
memperhatikan akhlaknya.
Ketiga,
bagaimana sholat orang tersebut.
Setelah
kita memahami proses ini, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mengikuti
bagaimana para ulama terdahulu ketika memutuskan untuk berguru. Terbukti mereka
sudah mendapakan hasil yang maksimal dengan proses yang benar.
Washallallahu
‘alla nabiyyina Muhammad.
Simak
selengkapnya disini.
Klik https://muslim.or.id/47202-selektif-dalam-menuntut-ilmu-agama.html
MasyaaAllah, barakallahu fiyk 🌻
BalasHapus