Sabtu, 04 Juli 2020

Mengenal Ulama Kharismatik ‘Imam Syafi’i rahimahullah’




Ketika di sebutkan nama imam syafi’i, hampir seluruh kaum muslimin Indonesia mengenal beliau dan bangga terhadap beliau. Bagaimana tidak, beliau adalah salah satu imam madzhab yang paling banyak di ikuti di negeri ini. Bahkan madzhab syafi’i sendiri, sepertinya tidak bisa dipisahkan dengan umat muslim Indonesia. Pendapat beliau dalam bidang fiqih banyak di jadikan rujukan oleh kaum muslimin di tanah air, khususnya di pesantren-pesantren. Baik pesantren tradisional maupun pesantren modern.

Mengenal dan membaca kisah hidup para ulama memberikan kesan tersendiri pada hati. Betapa banyak hikmah dan faidah di ambil ketika membaca kisah dan nasihat mereka. Bahkan hal ini seringkali lebih di senangi daripada membaca hukum hukum yang mereka fatwakan. Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata,
«الحكايات عن العلماء ومجالستهم أحب إلي من كثير من الفقه؛ لأنها آداب القوم وأخلاقهم»

 “Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikh, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)” 

Nama dan Nasab

Nama beliau Muhammad dengan kunyah Abu abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Ustman bin Syafi’ bin as Saib bin ‘Ubayd bin Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muthalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan Rasulullah pada ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau termasuk sanak saudara Rasulullah.

Waktu dan Tempat Kelahiran Beliau

Beliau dilahirkan pada tahun 150 H. pada tahun itu bertepatan dengan tahun wafatnya imam Abu Hanifah rahimahullah. Sehingga dikatakan oleh para ulama, tahun tersebut adalah tahun wafatnya imam dan tahun lahirnya imam.

Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat berbeda. Akan tetapi yang termahsyur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota ghazzah (sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah syam ke arah mesir. Tepatnya di sebelah selatan palestina. Jaraknya dengan kota asqolan sekitar dua farsakh).
Beliau wafat pada tahun 204 H. Dalam usia 54 tahun, pada malam jumat setelah isya hari terakhir di bulan Rajab.

Perjalanan Imam Syafi’i Dalam Mencari Ilmu

Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.

Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.

Beliau mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu. Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. 

Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.

Nasihat Nasihat Imam Syafi’i rahimahullah

Ar-Rabi’ mengatakan: Aku mendengar Syafi’i mengatakan, “Apabila kalian mendapati di dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ikutilah hal itu dan tinggalkan pendapatku.”

Al-Buwaithi berkata: Aku mendengar Syafi’i mengatakan, “Hendaklah kalian berpegang kepada para ulama hadits, sesungguhnya mereka adalah manusia yang paling banyak kebenarannya.”

Dari nasihat beliau kita bisa mengambil faidah, bahwasanya beliau menginginkan kita untuk berloyalitas hanya kepada Allah ta’ala dan Rasulnya shallallahu alaihi wasallam. Karena sejatinya beliau sebagai ulama yang menyampaikan hukum hukum yang bersumber dari Allah ta’ala dan Rasulnya ‘alaihissallam. Penghormatan dan kecintaan kita diikat dengan cinta kepada Allah dan Rasulnya. Dangan begitu, kita akan menempatkan posisi ulama dalam posisi yang sebenarnya. Tidak berloyalitas berlebihan atau meremehkan mereka rahimahullah.

باالله التوفيق



Tidak ada komentar:

Posting Komentar